Tiga dasawarsa kita dididik oleh Orde Baru sebagai bangsa yang inferior (rendah diri). Negara dunia ketiga yang culun dan jadi korban risak (bullying) negara-negara maju. Tak salah kalau belakangan kita kian merindukan momentum yang jarang-jarang untuk menunjukan sedikit hasrat melawan atau gertakan balik pada para bule di luar sana. Itulah kenapa citra “pemimpin tegas” begitu diperebutkan oleh dua kandidat presiden di Pemilu 2014 lalu. Jenis pejabat seperti menteri Susi, Ahok, dan Bu Risma pun sukses meraih tingkat popularitas tersendiri. Masyarakat memang lagi berselera dengan yang galak-galak sepertinya.
Tak aneh pula jika publik lalu bertempik sorak tatkala seorang Nara Masista Rakhmatia dengan nyali yang dirindukan itu berani menegur delegasi dari negara-negara Kepulauan Pasifik dalam Sidang Umum PBB yang dihelat pada Sabtu (24 September) kemarin.
Mulanya, dalam kesempatan pidato di Sidang Umum itu, sederet delegasi dari negara Kepulauan Pasifik seperti Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu, dan Tonga menyatakan keprihatinan mereka pada kondisi rakyat Papua Barat yang (masih) menerima banyak pelanggaran HAM. Mereka mengkritik perlakuan Indonesia terhadap Papua Barat yang menghasilkan sederet catatan pelanggaran HAM, serta mendesak kita untuk mengabulkan keinginan provinsi tersebut untuk merdeka. Solusi berupa referendum (penentuan nasib sendiri) pun diajukan kepada Indonesia.
Seakan mengaum dari podium, Nara yang masih berusia 34 tahun dan menyandang jabatan diplomat junior pun merespons kritik itu dengan tegas. Lulusan Sekolah Departemen Luar Negeri di tahun 2008 itu menyebut negara-negara Kepulauan Pasifik telah mengganggu kedaulatan nasional di Indonesia. “Laporan bermotif politik mereka dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di Provinsi Papua Barat, yang telah secara konsisten terlibat menghasut kekacauan publik dan dalam melakukan serangan teroris bersenjata,” tukasnya, dilansir dari Kompas.com.
“Ini adalah bentuk pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah negara kami. Hal ini sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara-negara ini untuk menyalahgunakan forum PBB, termasuk sidang pada Agustus ini,” lanjutnya. “Negara-negara ini menggunakan Majelis Umum PBB untuk memajukan agenda domestik mereka dan bagi beberapa negara menggunakan forum ini untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dan sosial di dalam negeri mereka sendiri.”
“Komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah pendiri Dewan HAM PBB” – Nara Rakhmatia
Seiring beredarnya berita atas “tindakan heroik” Nara itu, publik menjadi gegap gempita dan terpesona olehnya. Ia dianggap sebagai sosok yang membela dan menyelamatkan martabat Bumi Pertiwi yang kata sebagian orang makin cupu pasca punya sosok presiden yang tidak menjanjikan secara visual. Beberapa media massa ikut berkobar-kobar, hingga memberitakannya menggunakan pilihan kata “menampar ” atau “menghajar negara-negara lain” di judul. Apalagi ini dilakukan oleh seorang wanita. “Kartini masa kini,” begitu banyak orang menyanjungnya. Yang paling penting (ya, memang ini yang paling penting bukan?) parasnya cantik! Sekali lagi, cantik! Sehingga setelah ini diplomat mungkin menjadi profesi paling idaman sebagai calon menantu setelah beberapa tahun terakhir adalah trennya polwan. Tiba-tiba hampir seantero masyarakat di Indonesia bagai Distrik 12 di film The Hunger Games yang membara jiwa nasionalismenya setelah hanya mendengar senandung Katniss Everdeen.
Ya, hampir semua. Kecuali satu: Papua.
Di antara lautan puja-puji kepada Nara, komedian lawak tunggal yang namanya melejit sedari dianugerahi juara 3 dalam Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV season ketiga pada tahun 2013 silam ini mengutarakan kekecewaanya. “Nona ini sudah pernah ke Papua? Sudah riset? Kalau memang bangsa kita sebaik itu mengenai HAM, Munir masih hidup,” tulis @Arie_Kriting. “Seakan-akan bangsa kita hebat naruh Bocah dan “Cantik” utk hal seperti ini, padahal yg dia bicarakan justru menyedihkan, jauh dr kenyataan.”
Kenapa apa yang dikatakan oleh Arie bisa berbeda dari apa yang dipaparkan Nara di forum PBB? Yah, Papua memang selalu berbeda. Papua tak pernah benar-benar menjadi bagian dari kita.
Buka kembali buku-buku sejarah, apakah Papua Barat memang pernah ingin menjadi bagian dari Indonesia? Atau kita saja yang main klaim seenaknya?
Papua Bagian Barat adalah pertanyaan terbesar dari ambisi Bung Karno menyatukan beragam suku dan pulau Nusantara yang berbeda-beda atas dasar “persamaan nasib sebagai bangsa terjajah”. Sejak kekuasaan atas Papua Barat berhasil direbut oleh Indonesia dari Belanda pada 1963, kita (baca: pemerintah) mulai doyan merampas dan menjajah tanah mereka. Setelah melewati beragam pertikaian, akhirnya Papua Barat resmi menjadi salah satu provinsi Indonesia sejak 1969 melalui sebuah referendum bertajuk Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat). Namun, banyak pertanyaan di belakangnya. Hasil sejujurnya dari musyawarah yang melibatkan seribu orang pilihan Indonesia itu masih dipertanyakan. Apakah suara rakyat Papua sendiri didengar kala itu? Menurut beberapa sumber sih ada ancaman pemaksaan suara yang berujung pada proses tidak adil dan sepihak. Alhasil, jangan salahkan jika Papua Barat punya mimpi untuk bisa melakukan referendum ulang.
Semenjak resmi bersatu dengan Indonesia secara kontroversial itu, Papua Barat hanya menjadi tanah yang penuh dengan kejahatan kemanusiaan
Alih-alih dirawat dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang seperti provinsi-provinsi di Jawa, rakyat Papua cenderung diperlakukan sebagai bangsa primitif. Jika ada yang bertanya “Apakah Papua Barat yang tertinggal seperti sekarang akan mampu berdiri sendiri jika mereka merdeka?”, tanyakan balik, “Lha sebenarnya gara-gara siapa juga Papua Barat bisa tertinggal?”.
Bentuk penindasan yang dilakukan pun bermacam-macam. Ada penindasan kebebasan politik, kebebasan berpendapat, kebebasan berorganisasi, kebebasan bicara, bahkan kebebasan berpikir. Bicara eksploitasi alam? Jelas panjang umur selama yang namanya Freeport masih ada. Bahkan, bukan cuma alam, namun juga manusianya. Sudah kekayaan alamnya dicuri, pemiliknya juga dipekerjakan dengan upah yang tidak manusiawi.
Tentu mereka memberontak, namun hasilnya cuma konflik panjang yang jelas tidak berimbang. Pembunuhan besar-besaran tidak terelakan, entah secara langsung maupun lewat pengondisian lingkungan yang tidak kondusif untuk hidup. Salah satu buktinya, rakyat Papua semakin berkurang jumlahnya. Menurut data dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), jumlah orang asli Papua berkurang sekitar 200 ribu kepala dari tahun 2013/2014 (1,7 juta jiwa) ke tahun 2015 (1,5 juta jiwa).
Meminjam istilah dari teolog Jerman, J.B Metz, selama bertahun-tahun Papua hanya hidup dengan apa yang disebut “memoria passionis” yang artinya ialah ingatan akan penderitaan, kesengsaraan, atau situasi ketidakadilan yang tidak terperikan.
Lantas, kenapa kita tidak peduli selama ini?
Wilayah Papua Barat memang diblokade dari dunia luar. Wartawan atau peneliti tidak diberi kesempatan untuk masuk ke daerah sana. Sepasang wartawan asal Perancis, Marie Valentine Louise Bourrat dan Thomas Charles Dandois misalnya, dijebloskan ke penjara selama dua bulan 15 hari disertai denda 2 juta rupiah oleh majelis hakim di Pengadilan Jayapura, Papua, pada 24 Oktober 2014 silam dengan dalih penyalahgunaan visa. Banyak yang menduga bahwa ini hanyalah bentuk kriminalisasi terhadap keduanya yang hendak mendokumentasikan gerakan separatisme rakyat Papua.
Apa yang dikatakan oleh Nara dalam forum PBB ini sebenarnya juga bisa dilihat sebagai salah satu bentuk blokade informasi atas apa yang terjadi di Papua terhadap dunia luar. Tidak ada pengakuan, hanya bantahan. Masyarakat sekadar tahu bahwa yang namanya separatis itu negatif, kedaulatan atau keutuhan negara mesti dipertahankan, dan sebagainya. Kita tak tahu seberapa banyak nyawa yang direnggut oleh alasan kedaulatan tersebut. Yah, maka dari itu sidang Jessica-Mirna yang bertele-tele bagai sinetron yang diulur-ulur itu bisa jauh lebih butuh disiarkan di segala penjuru stasiun televisi dibanding ribuan atau lebih korban nyawa yang telah tiada maupun yang masih terancam di Papua.
Dan dengan percaya diri, Nara mengatakan bahwa komitmen Indonesia terhadap HAM adalah “unquestionable” atau “tidak perlu dipertanyakan”. Mungkin, maksudnya memang lebih baik jangan bertanya daripada sakit hati
Selain Arie Kriting, Ernest Prakasa selaku komedian lawak tunggal lainnya juga turut melempar cuitan bernada sama:
“Komitmen Indonesia terhadap HAM tidak perlu dipertanyakan lagi”, she said. Justru rapor paling merah Jokowi sampe saat ini adalah soal HAM.
Ernest Prakasa (@ernestprakasa) September 29, 2016
Bukan hanya rapor presiden Jokowi saja, tapi sesungguhnya adalah rapor seluruh presiden sebelumnya bahwa pelanggaran HAM sudah seperti kebiasaan buruk yang dimaklumi di Indonesia. Dan bukan cuma Papua saja, tapi ada Munir, jutaan keluarga korban pembantaian manipulasi Gerakan 30 September PKI, hingga seluruh etnis Tionghoa yang banyak disudutkan di era Orde Baru. Jika sudah bicara masalah ini, rasanya sedikit khilaf ingin menempeleng orang yang masih bilang bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya timur yang ramah dan santun. *ambil air wudhu*
Kembali pada Nara, mudah-mudahan portofolio luar biasa yang mengantarkannya menempuh pendidikan, kegiatan organisasi, dan segala capaian di luar negeri itu tidak membuatnya menjadi asing dengan apa yang sebenarnya terjadi di negaranya. Mungkin apa yang ia lakukan di forum PBB itu hanya bagian dari pemenuhan tugasnya sebagai seorang diplomat–yang sedikit banyak menyerupai humas–yakni menjaga nama baik negaranya. Apalagi Nara juga berkiprah di CERIC (Center for Research on Inter-group Relations and Conflict Resolution). Artinya, ia terbiasa mendedikasikan diri dalam upaya peredaan konflik, kendati caranya mungkin termasuk dengan menutupi keburukan.
Inilah nasionalisme yang membutakan. Apalah arti citra atau nama baik kalau hanya untuk melanggengkan imperialisme atau penjajahan. Apa bedanya kita dengan Belanda atau Jepang yang kita musuhi sedari mengenal buku Sejarah SD. Tulisan ini bukan bermaksud menyudutkan Ibu Pertiwi sendiri, melainkan berharap mengembalikan kesadaran akan kesetaraan derajat dan hak manusia, entah ia lahir di bawah bendera negara apapun. Nasionalisme atau rasa memiliki Tanah Air sejatinya hanya angin lewat belaka jika dibandingkan dengan hak sesama manusia untuk berbahagia.
Sumber : hipwee.com