Intip beda Jokowi dan SBY berantas praktik pungli di Indonesia

Operasi pemberantasan pungli (OPP) di Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyita perhatian publik. Bukan karena jumlah hasil tangkapannya, tetapi karena Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Presiden Joko Widodo ( Jokowi) meninjau langsung lokasi di Gedung Karya Kementerian Perhubungan lantai 6 dan 12.


"Operasi Pemberantasan Pungli (OPP) baru dibicarakan, rapat baru saja selesai dan kami langsung dapat laporan dari Kapolri, bahwa di Kementerian Perhubungan telah ditangkap banyak pungli untuk pengurusan hukum laut dan surat kapal yang angkanya berbeda-beda ada yang ratusan ribu serta ada yang jutaan," kata Presiden Joko Widodo ketika melakukan peninjauan penggeledahan di Kemenhub, Selasa kemarin.

Presiden mengingatkan kepada seluruh instansi dan lembaga untuk menghentikan praktik pungutan liar (pungli), karena sudah ada OPP. "Saya perintahkan langsung tangkap dan pecat oknum yang terbukti, segera hentikan praktik pungli, utamanya terhadap pelayanan kepada masyarakat," kata Presiden.

Praktik pungli bukan barang baru di panggung perekonomian Indonesia. Praktik ini sudah terjadi sejak lama. Bukan hanya Presiden Jokowi, Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) pun sempat geram dengan praktik tercela ini.

Jika Jokowi langsung bergerak memantau pemberantasan praktik kelancungan ini, bagaimana dengan SBY?

Sewaktu masih menjabat, SBY sempat melontarkan pernyataan mengenai kegerahannya dengan maraknya pungli di Indonesia. Jika menemukan ada pungli, SBY saat itu membuka ruang komunikasi agar masyarakat bisa melapor kepadanya.

"Di jalan raya juga begitu. Muatan dari Banyuwangi ke Jakarta lebih dari 10 kali (kena pungli). Begitu dipungli, silakan kirim SMS (Short Message Service). Itulah barangkali pengawasan bisa ditingkatkan," kata Presiden SBY usai Sidang Kabinet Terbatas di Kantor Pusat Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.

Selain itu, SBY sempat membentuk satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia. Namun, keputusannya itu mendapat cibiran dari banyak pihak.

"Merasa masih ada pemerasan, pungli. Dulu saya bentuk satgas pemberantasan mafia, dikeroyok saya untuk dibubarkan, macam-macam tujuannya untuk itu. Siapa yang peras dunia usaha, siapa yang peras siapa. Jangan dibiarkan di negeri ini. Sepertinya baik-baik padahal jahat. Orang yang baik-baik malah difitnah macam-macam," ujar SBY.

Tak hanya melalui pemerintah, SBY menyarankan kepada para pengusaha untuk melaporkan langsung melalui media massa jika isunya sensitif. SBY juga meminta kepada media massa mengabarkan sesuatu yang faktual, bukan lagi berdasarkan informasi semata.

"Jadi menurut saya, kalau nyata-nyata diperas, diminta ini, diminta itu entah penegak hukum atau siapapun, beri tahu. Tembuskan ke saya, tembuskan ke wapres, enggak mungkin kita diamkan. Tapi kalau prosesnya enggak benar, tahu sama tahu, ya enggak akan ada yang tahu. Saya merespon banyak hal, tidak diam," lanjutnya.

Sebagai informasi tambahan, sebetulnya, pemerintah sudah punya kajian selain penindakan untuk menghapus pungli. Apa itu?

Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Sidqi Lego Pangesthi Suyitno, meminta Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menghapus pungutan-pungutan liar yang selama ini kerap menjadi masalah dalam biaya logistik di dalam negeri.

Sidqi mengungkapkan, salah satu cara untuk menekan inflasi adalah dengan menghilangkan ekonomi biaya tinggi yang terjadi di Indonesia. Ekonomi biaya tinggi tersebut salah satunya disebabkan oleh pungutan-pungutan antar wilayah sehingga membuat tingginya biaya logistik di Indonesia.

"Ekonomi biaya tinggi yang harus ditekan, contohnya biaya lintas kabupaten itu bisa sampai 2-3 jenis, itu bisa 30 persen-40 persen dari cost (logistik), kalau itu dihapus saja," ujarnya di Jakarta.

Pungutan yang ada selama ini dinilai sudah mendarah daging sejak zaman Belanda. Menurutnya, pungutan tersebut dilakukan untuk mempersulit bisnis pengusaha masyarakat pribumi.

"Itu revolusi mental. Ini kan peninggalan Belanda, bahwa pribumi tidak boleh maju, mau berusaha dipersulit. Di era saat ini pungutan tersebut sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan." kata dia.

Sidqi mengakui, pungutan yang dilakukan oleh dinas di daerah tidak memberi kontribusi besar pada penerimaan. Dia menilai pungutan tersebut banyak yang masuk ke kantong pribadi para pelayan publik.

"Sebenarnya tinggal Pak Jokowi perintah ke menteri dalam negeri, perintah gubernur dan bupati supaya tidak ada lagi pungutan itu. Toh PAD (pendapatan asli daerah) juga tidak banyak sumbangannya ke APBD, itu kan hanya masuk kantong pribadi. Kalau tidak mau, Pak Jokowi kan bisa bilang sudah kita kompensasi dengan dana desa. Setiap kabupaten dapat Rp 100 miliar, tiap provinsi dapat Rp 1 triliun, itu kan kompensasinya. Jadi tidak perlu lagi anda mungut-mungut," jelasnya.

Sumber : merdeka.com

Subscribe to receive free email updates: